Penulis: Subhan, Qatrin, Sarah

Purwakarta, 16 Oktober 2023

“Yang gak ikut TO, rugi sampe ke ati!” ujar salah satu peserta TO kelompok 31 usai mereka mengikuti kegiatan Peduli Kehidupan Desa (PKD). Peduli Kehidupan Desa kali ini lebih variatif dibandingkan TO sebelumnya, maklum baru lepas dari jeratan Covid 19. Trip Observasi 2023 pada program PKD mengajak untuk  melibatkan diri tidak hanya secara psikomotor tetapi juga  menantang para peserta untuk terlibat  lebih banyak berpikir dan merasakan. “Karena PKD kali ini dari sisi teknis lebih kaya, lebih mendalam,dan lebih variaitifnya.” Ujar Pak Dede sebagai koordinator PKD. “Misal pada acara pembuatan nasi liwet, peserta diminta untuk memahami filosofi nasi liwet, papahare atau makan bersama ketika nasi liwet sudah disajikan di atas daun pisang, mengapa di atas daun pisang? Juga Rancangan Anggaran Belanja dari semua proses itu,” tegas Pak Dede.

Walaupun pada prosesnya demikian banyak hal yang perlu dipikirkan tetapi pada implementasinya penuh dengan keseruan. Saat praktik menggarap tanah sawah dari pembersihan lahan s.d. panen peserta dikenalkan dengan ngawaluku (membajak) yang benar. Ngawaluku tujuannya adalah untuk melembutkan tanah agar tidak keras,  dalam prose yang bersamaan juga dilakukan ngored (pembersihan rumput), nyurungan (pembersihan rumput kayambang). Semua proses ini ternyata selain sebagai praktik pembelajaran pengelolaan sawah juga menjadi permainan yang mengundang tawa, tertawa karena terjatuh dari pijakan bajak, terseret pijakan bajak, atau perilaku kerbaunya yang sukar diatur.

Usai belajar membajak, peserta kemudian diajari memanen padi dengan benar mengunakan arit. Arit jika digunakan untuk memanen akan lebih efektif jika menggunakan etem -pisau kecil untuk memotong padi. Red.-  Kegiatan ini pun justru mengundang tawa  teman-temannya ketika kaki salah satu peserta menginjak lumpur yang dalam sehingga bukannya mengarit justru kakinya yang sulit terangkat dan arit terlempar sehingga menancap di tanah sawah.

Keseruan tidak berhenti di dua praktik tersebut di atas tetapi juga saat praktik  mencangkul dan meratakan sawah. Praktik ini  terlihat asyik dan mudah ketika dicontohkan oleh petani yang menjadi modelnya. Tetapi saat mereka diminta mereka mempraktikkan justru kelucuan yang mereka tampilkan. Salah satu peserta laki-laki dengan sangat percaya diri mencoba mengambil cangkul kemudian dia angkat kepala cangkulnya di atas kepala dan jleb…cangkul masuk penuh ke dalam tanah. Giliran menarik Kembali cangkul bukan cangkulnya yang tertarik ke permukaan tanah justru dirinya yang ditarik cangkul dan tersungkur mencium lumpur, mengapa? Karena saat menancapkan cangkul peserta tersebut terlalu kuat dan dalam sehingga cangkul susah diangkat.

Puncak keseruan adalah ketika peserta diajak untuk praktik memanen ikan dengan tangan kosong, orang sunda menyebutnya dengan gogo. Gogo dilakukan Ketika kolam sudah dikeringkan namun tersisa sedikit air maka akan nampak punggung ikan sehingga kita akan dengan mudah menangkapnya tanpa merusak lingkungan lainnya baik pohon ataupun binatang tertentu. Namun, kejadian gogo yang melibatkan peserta justru menjadikan kegiatan lucu, seru, kocak, tawa, canda bercampur jadi satu. Bagaimana gak lucu satu, dua  ikan diperebutkan lebih oleh empat orang karena licinnya ikan bukannya ikan yang tertangkap tapi antarmereka justru bertabrakan dan terjatuh di kolam. Di sudut lain karena gerak lompat ikan lebih cepat dari gerak tangkap peserta justru bukan ikan yang tertangkap melainkan lumpur bercampur air yang tertangkap dan criiiiit…..lumpur pun berhambur ke mukanya. Di tengah kolam lain lagi  ceritanya. Bagian tengah kolam berisi air lebih banyak artinya ikan masih mampu bergerak luwes dan peluang lepas dari peserta pun makin tinggi. Ketika ikan lepas itulah yang diperebutkan oleh peserta lain, lepas lagi dipererebutkan lagi, demikian berulang sehingga terjadi rebutan, dorongan, tabrakan, senggolan,dan teriakan pun menjadi lepas dari rongga mulutnya. Kesal pasti ada tapi tawa ceria yang justru terlepas ketika melihat muka dan badannya penuh lumpur sawah. Akhir kegiatan, banyak peserta yang mengantongi ikan dalam plastik untuk dimasak tapi lebih banyak mereka yang “mengantongi” lumpur di muka, tangan, dan bajunya.

Untuk peserta yang tidak mengikuti program PKD kegiatan membajak sawah, mencangkul, menanam, dan memanen kegiatannya adalah mengikuti kegiatan orang tua asuh  yang umumnya petani. Peserta diajari cara memamen cabe, rawit, paria, menyiram, mengarit, memberi makan kambing, ikan, dan sebagainya. Untuk siswa yang tidak mengikuti orang tua asuh kegiatannya adalah bersih-bersih rumah dan memasak nasi liwet. Nasi liwet ini kemudian disajikan sedemikian rupa untuk dinilai panitia. Sisanya dimakan bersama dengan orang tua asuh, pembimbing, dan pendamping. Nasi liwet untuk dimakan bersama disajikan menggunakan daun pisang, nasi dan lauk-pauknya ditaburkan di atasnya untuk dimakan secara papahare, dimakan bersamaPasti ada pesan moral di dalamnya. Setidaknya inilah bentuk syukur atas rezeki dari Allah dan bentuk silaturahmi antaranggota kelompok.