Penulis : Faiq Ghatfan Musyaffa (XII MIPA 1)

Dalam rangka kegiatan studi lapangan Angkatan Vastagana SMA Labschool Kebayoran tahun 2023 yang berlangsung pada tanggal 19 hingga 21 September 2023, kunjungan pertama kami di Bandung adalah menuju Saung Mang Ujo. Dalam upaya dokumentasi dan liputan yang mendalam, kami, yakni Pak Subhan, seorang guru bahasa Indonesia, dan Faiq, yang bertindak sebagai jurnalis perwakilan Angkatan Vastagana, melakukan wawancara eksklusif dengan Teh Mila, yang menjabat sebagai salah satu pengelola Saung Mang Ujo.

Wawancara eksklusif dengan Teh Mila

Teh Mila, seorang profesional yang berpengalaman dalam bidang Public Relations di Saung Ujo, membuka tirai kenangan dan cerita di balik kesuksesan luar biasa yang telah dicapai oleh lembaga seni dan budaya ini. Dalam wawancara yang mendalam ini, kami menggali lebih dalam sejarah panjang Saung Ujo yang telah berjuang untuk mendukung pendidikan dan warisan budaya sejak tahun 1966. 

Menurut Teh Mila, Saung Ujo lahir berkat perjuangan keras Bapak Ujo Ngalagena dan Ibu Sumiyati. Keduanya adalah tokoh pendidik berpengalaman, dengan Bapak Ujo sebagai seorang guru dan Ibu Umi sebagai seorang kepala sekolah. Mereka berdua menyadari bahwa banyak anak-anak di sekitar mereka terpaksa bolos sekolah karena kondisi ekonomi yang sulit pada masa itu. Hal ini memicu keprihatinan dan inisiatif mereka untuk menciptakan Saung Ujo sebagai tempat dimana anak-anak dapat tetap bersekolah sambil memelihara budaya dan tradisi lokal yang kaya. 

Seiring berjalannya waktu, Saung Ujo tumbuh dan berkembang menjadi sebuah ekosistem yang unik. Anak-anak dari komunitas sekitar datang dengan keinginan mereka sendiri untuk belajar seni dan budaya tradisional. Hal menarik adalah bahwa tidak ada seleksi ketat atau tes yang harus mereka lalui. Semua orang yang memiliki hasrat dan semangat untuk berkembang dalam seni dan budaya diterima dengan tangan terbuka. 

Pentingnya pendidikan juga tercermin dalam praktik Saung Ujo yang memberikan beasiswa kepada anak-anak yang tampil dalam pertunjukan. Hal ini adalah bentuk apresiasi dan dukungan yang nyata dalam memastikan bahwa anak-anak ini dapat terus mengejar pendidikan mereka tanpa hambatan. 

Dalam proses latihan mereka, Saung Ujo mengusung konsep “learning by doing.” Ini berarti bahwa para anggota belajar sambil melakukan. Untuk beberapa pertunjukan tari yang memerlukan koordinasi yang rumit, latihan berlangsung selama sekitar satu bulan, dengan pertemuan seminggu sekali, hingga mereka siap untuk tampil di panggung. 

Namun, kisah Saung Ujo tidak hanya berkaitan dengan pertunjukan seni dan pendidikan. Teh Mila juga menceritakan bagaimana Saung Ujo tumbuh dari masa kecil yang sederhana menjadi sebuah destinasi wisata yang menarik perhatian banyak wisatawan, bahkan hingga ke tingkat internasional. 

Saung Ujo

Sebuah episode menarik adalah ketika seorang Gubernur, pada masa pemerintahannya, memberikan donasi besar sebesar 200 juta rupiah sebagai syarat pembangunan jalan besar menuju Saung Ujo. Namun, Bapak Ujo dengan tegas menolak uang tersebut dengan satu syarat: bahwa nama jalan besar ini harus diabadikan dengan nama yang dipilih olehnya sendiri. Akhirnya, jalan itu diberi nama “Jalan Padasuka,” yang secara harfiah berarti “semua orang suka.” Nama ini menjadi simbol kesenangan dan kebahagiaan yang terus dirasakan oleh pengunjung dan anggota Saung Ujo. 

Wawancara kami dengan Teh Mila tidak hanya mengungkapkan dedikasi luar biasa Saung Ujo terhadap pendidikan, budaya, dan seni, tetapi juga bagaimana mereka terus menginspirasi generasi-generasi baru untuk ikut serta dalam menjaga dan merayakan warisan budaya yang kaya dan berharga.