SkyCamp 2025: Catatan dari Perkemahan yang Sarat Pelajaran
Penulis: Nur Fikri XI-E
SkyCamp angkatan Vistrasaka diselenggarakan pada 26–27 September 2025 di Bumi Ariloka. Secara ideal, kegiatan ini ditujukan untuk memperdalam nilai kepramukaan sekaligus mempererat kebersamaan siswa kelas XI SMA Labschool Kebayoran. Namun demikian, pelaksanaan di lapangan justru meninggalkan pengalaman yang berlapis, penuh dinamika, dan banyak keluhan masuk untuk kritik penyelenggaraan SkyCamp kedepannya.
Setibanya di lokasi perkemahan, kegiatan orientasi medan yang semestinya dipandu malah menjadi aktivitas mandiri. Waktu yang kosong membuat peserta merasa jenuh, hingga rasa lapar mulai tak terelakkan. Sementara jadwal makan siang masih jauh, banyak peserta akhirnya membuka bekal lebih awal.
Keputusan ini berujung pada teguran keras dari Kak Ajay, pelatih pramuka yang hadir mendampingi. Persoalannya, sebagian besar peserta bahkan belum mengenal beliau, ia hanya dekat dengan dewan ambalan karena mereka adalah anggota ekskul pramuka yang dilatihnya. Akibatnya, teguran yang mungkin dimaksudkan sebagai bentuk kedisiplinan justru menimbulkan kesan pertama yang kurang baik, interaksi awal terasa dingin dan tidak menyentuh sisi kebutuhan peserta.
Selanjutnya, penjelajahan yang merupakan agenda utama SkyCamp malah molor sangat lama. Kronologinya, instruksi sejak awal memang mewajibkan semua peserta memakai sepatu. Namun karena ada imbauan agar membawa jas hujan dan “bersiap jika turun hujan”, beberapa peserta sempat mempertimbangkan untuk berangkat dengan sandal agar lebih praktis. Menjelang keberangkatan, barulah dilakukan pengecekan satu per satu. Peserta yang masih memakai sandal dipaksa mengganti sepatu saat itu juga, dan proses pergantian ini dilakukan per pasukan. Pasukan paling depan baru boleh berangkat setelah selesai diganti, disusul pasukan berikutnya, sehingga waktu keberangkatan tersendat begitu panjang.
Setelah perjalanan dimulai, jalur yang ditempuh ternyata cukup berat. Tanjakan curam dengan kondisi tanah licin segera menguras tenaga. Pada titik inilah larangan penggunaan sandal terbukti masuk akal, meskipun penjelasan tersebut tidak pernah diberikan sejak awal.
Di setiap pos penilaian, antrean panjang kembali muncul. Pembagian peserta menjadi pasukan besar terasa kurang relevan karena penilaian tetap dilakukan per sangga. Akibatnya, barisan berantakan, sebagian peserta tertinggal, koordinasi antar kelompok melemah, dan kegiatan selesai jauh lebih lama dari waktu yang direncanakan. Penjelajahan yang seharusnya menantang justru berubah menjadi pengalaman melelahkan dan penuh rasa frustrasi.

Sepulang dari penjelajahan, waktu untuk memasak makan malam sudah terpotong. Banyak sangga hanya mampu menyiapkan hidangan seadanya sebelum hujan deras mengguyur perkemahan. Sejumlah tenda kebanjiran, peserta terjebak di dalam, dan rangkaian acara malam tidak dapat terlaksana.
Stargazing yang dinantikan batal, api unggun mustahil dinyalakan, dan meskipun ada sesi pemaparan materi dari Himpunan Astronomi Amatir Jakarta, suasana tidak lagi sesuai ekspektasi. Cuaca memang tidak bisa dikendalikan, tetapi memilih waktu perkemahan pada musim pancaroba jelas membawa risiko dan memberikan kesan bahwa kegiatan SkyCamp ini dirancang tanpa konsiderasi yang matang. Hari pertama rasanya sudah cukup untuk membuat seluruh angkatan Vistrasaka lelah.
Hari kedua ditutup dengan apel penutupan dan deklarasi sekolah adiwiyata. Setelah itu, peserta diarahkan menuju tronton untuk bersiap pulang. Namun, beberapa kendaraan belum juga tiba sesuai jadwal. Peserta yang sudah mendapat trontonnya terpaksa menunggu di dalam dengan kondisi panas dan pengap, sedangkan yang masih menunggu trontonnya harus berhadapan dengan terik matahari, dan tak tau kapan kendaraannya akan kunjung datang. Selain itu, menurut pengamatan sejumlah peserta, panitia terlihat santai-santai saja berkeliling, mengobrol, dan berfoto dengan satu sama lain, dan hal ini menimbulkan amarah diantara beberapa peserta. Perjalanan akhirnya baru benar-benar dimulai lewat pukul 12.00, sudah jauh sekali dari jadwal seharusnya.
Di tengah berbagai kendala, perlu diakui bahwa terdapat pula momen yang memberi kesan positif. Kehadiran Bu Ulfah dari panitia konsumsi yang beberapa kali membagikan bakso, teh hangat, hingga martabak, menjadi penghibur sederhana namun berarti. Selain itu, kebersamaan juga terjalin di luar agenda resmi. Ada yang mandi bersama di sungai, siswi saling mengepang rambut, hingga perbincangan ringan dengan teman yang jarang berinteraksi sebelumnya. Kebersamaan ini lahir bukan dari rancangan acara, melainkan dari spontanitas peserta sendiri.
SkyCamp Vistrasaka pada akhirnya lebih banyak dikenang melalui kesulitannya, teguran yang menimbulkan kesan pertama kurang baik, penjelajahan yang kacau, hujan yang merusak agenda, hingga kepulangan yang molor. Penulis bahkan mendapat kabar bahwa dewan ambalan, kumpulan murid yang seharusnya mengerti lebih banyak tentang pramuka dan dapat membantu peserta lainnya dalam keberlangsungan SkyCamp, ternyata tidak dilibatkan dalam banyak hal mengenai perencanaan kegiatan ini.
Memang ada momen kecil yang terasa menghibur, tetapi terlalu tipis untuk menutupi rangkaian masalah yang ada. SkyCamp kali ini justru menjadi pengingat bahwa tanpa komunikasi, koordinasi, dan perencanaan yang matang, perkemahan hanya akan dikenang bukan sebagai pengalaman berharga, melainkan sebagai catatan panjang tentang hal-hal yang seharusnya bisa dihindari.

