Penulis : Jessica Gunawan XII MIPA 1

Dewasa ini, gaya berpakaian seringkali diasosiasikan dengan kedudukan sosial seseorang. Seseorang dengan pakaian yang dianggap modis dan menarik akan dilihat sebagai seseorang yang lebih berkecukupan dan mapan dibanding mereka yang tidak. Persepsi tersebut kemudian mendorong masyarakat untuk membeli dan menggunakan pakaian yang dapat merepresentasikan diri di depan khalayak umum sesuai dengan citra yang ingin mereka bangun dalam masyarakat. Hasrat untuk tampil modis dan menarik kemudian berkembang menjadi keinginan untuk menampakkan diri secara ‘unik’ dan sejalan dengan tren serta mode yang silih berganti. Keadaan yang dipicu gengsi ini mengakibatkan masyarakat hanya mengedepankan keunikannya saja dan tidak lagi memperdulikan kualitas dari pakaian yang digunakan, sampai-sampai bekas pun tidak menjadi masalah.

Gengsi berlebih serta hasrat masyarakat yang kian hari semakin ingin untuk menunjukkan gaya individual merekalah yang memicu fenomena yang menggemparkan dunia maya di Indonesia, yaitu jual-beli pakaian bekas, atau dengan istilah baru yaitu “thrift shop” yang hangat dibicarakan. Thrift shop merupakan kata serapan dari Bahasa Inggris. Kamus Merriam-Webster mendefinisikan thrift shop sebagai suatu toko yang menjual pakaian dan barang bekas lainnya, terutama untuk keperluan amal. Bila dimasukkan ke dalam konteks kultural masyarakat Indonesia, maka thrift shop dapat dibilang sebagai pembaharuan dari pasar loak. Artinya, membeli pakaian bekas bukanlah suatu fenomena baru, namun hal ini menjadi semakin diagung-agungkan semenjak pandemi Covid-19 di Indonesia. Kehadiran pandemi ini memaksa banyak perubahan dalam masyarakat, dimulai dari arus budaya, perubahan aktivitas, gaya hidup, termasuk juga konsumsi pakaian dan gaya berbusana. Dari pandemi Covid-19 inilah terbit mode thrifting di kalangan muda.

Menurut data dari Kementerian Perindustrian, terdapat 323 perusahaan garmen yang terdaftar di Kementerian Perindustrian, sehingga Indonesia termasuk salah satu negara penghasil tekstil terbesar serta eksportir tekstil dan pakaian jadi terbesar di dunia. Sebagai salah satu penghasil tekstil terbesar di dunia, Indonesia tentu berkontribusi memegang andil yang mempengaruhi lonjakan minat dalam bisnis perdagangan fashion. Walaupun di satu sisi membantu perekonomian Indonesia, namun hal tersebut tidak bisa dianggap sebagai keuntungan oleh semua kalangan masyarakat. Kenyataannya, saat ini thrifting tidak lagi menjadi aktivitas milik masyarakat kelas bawah, namun juga masyarakat kelas atas, dan menjadi kegiatan yang kian eksklusif. Bentuk pendapatan baru ini menjadi semakin hangat dan populer, maka bertambah pula kekhawatiran masyarakat lapisan kelas bawah yang mengandalkan pasar barang bekas. Dengan adanya kecenderungan generasi muda yang memaknai thrifting sebagai tren yang tidak boleh dilewatkan, penawaran terhadap pakaian bekas kian melonjak sehingga mengakibatkan harganya naik. Alhasil hal ini berdampak buruk bagi masyarakat kelas bawah untuk mengakses pakaian bekas layak pakai dengan harga murah.

Dahulu, tepatnya tahun 1970 sampai dengan 1980, kegiatan perdagangan kembali barang bekas ini muncul dan sering disebut sebagai loakan atau burjer senen serta memiliki target pasar utama masyarakat menengah-kebawah dan mahasiswa, terutama mahasiswa yang merantau untuk kuliah. Namun seiring dengan perkembangan zaman, terjadi pergeseran dalam penyebutan perdagangan barang bekas. Kini, kegiatan jual beli barang bekas disebut dengan kata thrifting yang merujuk pada istilah Bahasa Inggris yang merujuk pada jual-beli barang bekas yang telah dikurasi. Ada pula istilah “thrift shop” yaitu toko yang menjual barang-barang bekas atau second hand dengan harga yang lebih terjangkau dibandingkan dengan barang-barang baru. Walaupun pada hakikatnya kedua istilah tersebut memiliki pengertian yang sama namun masyarakat Indonesia memiliki reaksi berbeda terhadap penggunaan dua istilah tersebut. Terdapat permainan makna simbolik sehingga menciptakan persepsi yang berbeda. Istilah ‘pasar loak’ diasosiasikan dengan tempat yang tidak terlalu rapi atau kumuh karena barang-barang bekas yang dijual tidak diatur dan lebih sering digunakan dalam konteks lokal atau bahasa Indonesia. Sedangkan, penggunaan ‘thrift shop’ digemari oleh kalangan muda terutama di daerah Jakarta dan merupakan pengaruh budaya dan sejarah yang bersentuhan dengan budaya barat.

Kegiatan “thrifting” menyebar luas dengan peran masyarakat Jakarta yang masih dianggap sebagai barometer dan pusat peradaban Indonesia. Kota ini menjadi gerbang pertama yang menerima impak globalisasi sehingga arus tren menjadi semakin beragam dan diperlakukan sebagai kiblat mode masyarakat Indonesia. Hal ini juga didukung oleh para selebriti dan influencer yang sebagian besar berpusat di Jakarta dan mempopulerkan aktivitas tersebut di platform mereka masing-masing dan menggerakkan keinginan pengikutnya untuk ikut serta dalam kegiatan thrifting.

Awal mulanya “thrifting” merupakan bagian dari aktivitas ekonomi dimana individu melakukan transaksi penjualan dan pembelian barang bekas. Namun lambat laun aktivitas ekonomi itu bergeser menjadi aktivitas budaya yang dilihat dengan perubahan masyarakat menyikapi thrifting. Ada yang menjadikan thrifting sebagai fashion, bahkan sampai menjadi lifestyle.

Perubahan makna dari thrifting dapat ditarik kebelakang dengan istilah “awul-awul” yang lebih dikenal oleh penduduk lokal. Sesungguhnya barang thrift maupun kegiatan thrifting bukanlah hal baru yang hadir di masyarakat, melainkan sudah sejak zaman dahulu pakaian bekas diperjualbelikan di pasar sebagai bentuk aktivitas ekonomi. Tetapi, konsep awul-awul zaman dahulu dan zaman sekarang mengalami perubahan yang signifikan. Istilah “awul-awul” digantikan seiring masuknya arus globalisasi dan lebih dikenal sebagai “thrifting” untuk menciptakan citra yang modern dan lebih diterima di kalangan muda sebagai istilah universal di media sosial. Di zaman ini, thrifting sering diasosiasikan dengan tren mode dan gaya berbusana dibandingkan dengan aktivitas ekonomi yang merupakan jantung dari awul awul.

Kembali membahas perubahan aktivitas ekonomi menjadi aktivitas budaya, pergeseran ini dilatarbelakangi oleh kalangan bawah dengan motif ekonomi untuk membeli barang maupun pakaian dengan harga yang murah karena produk yang mereka beli adalah produk bekas dengan kondisi masih layak untuk dipakai. Namun dengan adanya westernisasi oleh masyarakat dengan mengadopsi budaya barat yang melestarikan budaya thrifting sebagai tren terkini dan alasan sustainabilitas lingkungan, pembelian barang bekas sudah tidak lagi dianggap cemar atau kotor. Ketika dahulu penggunaan pakaian bekas disembunyikan karena identik dengan tidak mampu, sekarang masyarakat dari berbagai kelas sosial secara terbuka memperlihatkannya karena fenomena ini sudah dinormalisasikan oleh sebagian besar anggota masyarakat dan menjadi gejala lazim yang membuat thrifting sebagai kiblat mode. Disini muncul perubahan pelaku atau target thrifting yang tidak lagi ditujukan untuk orang tidak mampu melainkan dapat diakses oleh segala kalangan dengan akses yang terbuka.

Mengutip teori dari Pierre Bourdieu, ia mendefinisikan kelas sosial salah satunya berdasarkan taste atau selera. Beliau mengatakan bahwa taste dapat merepresentasikan kelas sosial dan membentuk budaya masal atau populer, dalam konteks ini merubah pola selera tersebut karena pembelian pakaian bekas diafiliasikan sebagai kegiatan kelas bawah namun sekarang justru kegiatan pembelian pakaian bekas juga dilakukan oleh kelas atas. Oleh karena itu, pergeseran segmentasi kelas bawah menjadi kelas atas melahirkan fenomena gentrifikasi dalam masyarakat.

Ada beberapa faktor yang menyebabkan gentrifikasi thrifting di dalam masyarakat. Pertama,
masyarakat Indonesia menganggap thrifting sebagai sebuah tren dan menjadi bentuk dari viral
communication. Sebab fenomena ini bisa terkenal karena ada media komunikasi dalam teknologi di
zaman mutakhir ini. Akibatnya, segala arus informasi yang beredar di dunia global akan diketahui oleh
publik dan memancing rasa penasaran ditambah dengan karakteristik generasi muda Indonesia yang
FOMO (Fear Of Missing Out). Kedua, adanya faktor lingkungan pertemanan yang mendorong mengikuti
perkembangan zaman dan perasaan gengsi antar individu untuk tidak tertinggal tren.

Faktor ketiga adalah romantisme kalangan muda Jakarta untuk kembali menghidupkan gaya atau mode yang pernah menjadi tren di masa-masa sebelumnya. Dengan fenomena romantisme ini, kalangan muda seakan-akan ingin mengaktualisasikan masa lalu yang tidak pernah mereka alami. Dalam dunia fashion atau mode tidak ada lagi pembaharuan yang berarti, yang ada hari ini hanya mengambil apa yang ada di masa lalu kemudian dipadupadankan. Hal ini sejalan dengan teori dari Auguste Comte, yang menyatakan bahwa evolusi sosial masyarakat berbentuk siklus. Artinya, dalam perkembangannya masyarakat akan mengalami masa yang sama berulang kali.

Dalam sudut pandang ekonomi, gejala romantisme ini digunakan sebagai alat marketing. Banyaknya persaingan bisnis mengharuskan para pelaku usaha thrift untuk memutar otak mencari cara untuk membedakan diri mereka dari kompetitornya. Akhirnya, strategi romantisme pun dipilih, periode waktu 1990an dan 2000an dipilih dengan mengedepankan kesan “vintage” dan “Y2K” untuk menarik konsumen. Konsumen yang ingin mengedepankan dan menonjolkan kepribadian merekapun terpancing oleh strategi marketing yang dilakukan oleh para pelaku usaha “thrift” tersebut.

Hal tersebut juga sejalan dengan faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan suatu barang, yaitu selera masyarakat. Tidak dapat dipungkiri bahwa maraknya perdagangan barang bekas atau thrifting di Indonesia sangat dipengaruhi oleh selera masyarakat yang sangat bersifat dinamis mengikuti perkembangan zaman. Selain itu, menurut salah satu pelaku thrifting yang penulis temui di Pasar Baru, selain alasan bahwa pakaian yang dijual lebih sesuai dengan selera, terdapat faktor sustainability dan kualitas pula. Barang-barang thrift dianggap lebih ramah lingkungan dibanding dengan membeli barang baru, dan lebih berkualitas jika dibandingkan dengan barang-barang fast fashion atau pakaian jadi yang diproduksi secara masif.