Penulis: Keira Andita Putri Susianto (X IPS 1)

Harvestmind, Sekelompok Anak Muda Perintis Pertanian Organik - Kompas.com
Nikita Sulaiman Akbar (30), Pendiri Harvestmind (sumber: kompas.com, 2021)

Sejak kasus pertama Covid-19 tercatat di Indonesia pada 2 Maret 2020 di Depok, Jawa Barat, keadaan ekonomi di Indonesia terus merosot. Dilansir dari BPS, Jumlah penduduk miskin di Indonesia pada September 2020 sebesar 27,55 juta orang, meningkat 1,13 juta orang jika dibandingkan dengan data pada Maret 2020. Tingkat kemiskinan yang meningkat tersebut sangat mempengaruhi kehidupan masyarakat, salah satunya dari segi krisis pangan. Menurut Kepala LIPI, Laksana Tri Handoko, pandemi Covid-19 memiliki dampak besar padaketahanan pangan di Indonesia. Dilansir dari seminar daring yang berjudul “Prof Talk: Ketahanan Pangan di Masa Pandemi COVID-19”, dikatakan bahwa pandemi ini berdampak pada ketahanan pangan masyarakat, dan khususnya mengganggu upaya kita untuk menangani stunting secara nasional, namun krisis tersebut juga membuka jalan bagi ekonomi kreatif di Indonesia.

Menurut Undang Undang No 18 Tahun 2012 tentang Pangan, ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan. Ketahanan pangan dapat diperkuat dengan mewujudkan kedaulatan pangan, kemandirian pangan, dan keamanan pangan. Kedaulatan pangan merujuk pada hak negara untuk membuat kebijakannya masing-masing mengenai sistem pangan. Sedangkan kemadirian pangan merupakan kemampuan negara untuk memproduksi pangan sendiri sehingga dapat menjamin pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat. Terakhir, keamanan pangan didefinisikan sebagai kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah kontaminasi pangan agar tidak membahayakan kesehatan manusia dan tidak bertentangan dengan kepercayaan masyarakat.

Berdasarkan data dari Center for Indonesian Policy Studies, akibat pandemi Covid-19, lapangan pekerjaan di bidang pertanian berkurang sebanyak

4,87%. Selain lapangan pekerjaan yang berkurang, kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat atau dikenal sebagai PPKM juga membatasi akses bahan pangan di Indonesia. Akibatnya, Indonesia masih bergantung pada impor untuk memenuhi kebutuhan pangan. Dilansir dari website Kementrian Perdagangan, pada tahun 2020, Indonesia mengimpor Makanan dan Minuman (Belum Diolah) Untuk Rumah Tangga senilai 2,344 Juta US$. Padahal, Indonesia merupakan salah satu penghasil produk pertanian terbesar di dunia dengan menempati peringkat ketiga untuk produksi beras pada tahun 2019.

Indonesia sejatinya merupakan negara agraris, bahkan sebelum bersatunya kerajaan-kerajaan di Nusantara menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Mayoritas penduduknya sudah menggeluti bidang agraris untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Pertanian sudah menjadi suatu aspek kultural yang tidak bisa dipisahkan dari kebudayaan Indonesia, hal ini dibuktikan dengan banyaknya upacara-upacara adat yang memperingati keberhasilan panen. Contohnya adalah upacara ngineubkeun pare yang dilakukan masyarakat suku Sunda untuk berterima kasih kepada Dewi Sri atas keberhasilan panen. Meski begitu, jika jumlah petani di Indonesia terus berkurang, bukan tidak mungkin dalam beberapa tahun kedepan Indonesia akan kehilangan jati dirinya sebagai negara agraris.

Sejarah Pertanian di Indonesia

Manusia telah lebih dulu mengenal bertani dan bercocok tanam jauh sebelum manusia mengenal tulisan. Sejak zaman nirleka, manusia telah memilih bidang pertanian sebagai cara memenuhi kebutuhannya. Revolusi agrikultur yang terjadi kurang lebih 10.000 tahun lalu membuka lembar baru kehidupan manusia. Gaya hidup yang sebelumnya nomaden dan mengandalkan berburu dan mengumpulkan kini berubah menjadi sedenter. Manusia mulai mempelajari cara untuk memanipulasi kehidupan dan mendomestikasi beberapa spesies

tanaman dan hewan yang digunakan sebagai pemasok pangan. Revolusi agrikultur juga melahirkan suatu hierarki atau struktur sosial dengan para petani menjadi landasannya, tetapi juga menjadi kaum yang paling dirugikan oleh sistem tersebut. Spesies-spesies yang berhasil didomestikasi pada masa tersebut seperti kacang-kacangan dan gandum pun masih menjadi makanan pokok bagi manusia pada abad ke – 21.

Indonesia, yang saat itu masih terpecah menjadi kerajaan-kerajaan pun tak jauh berbeda. Indonesia merupakan negara kepulauan tropis yang mengandalkan agrikultur, terutama produksi rempah-rempah sebagai pemasukan utamanya. Hasil bumi yang melimpah tersebut pula menjadi salah satu faktor utama bangsa Eropa tertarik menguasai wilayah Nusantara. Dengan jatuhnya Konstantinopel ke tangan Turki Utsmani, jalur perdagangan antara dunia Timur dan Barat pun terputus. Tetapi bangsa Eropa tidak tinggal diam, mereka terus berusaha mencari produsen baru untuk rempah-rempah, yang saat itu merupakan komoditas dagang paling berharga di Indonesia. Berdirinya Verenigde Oost Indische Compagnie atau VOC tahun 1602 meresmikan kekuasaan Belanda atas perdagangan rempah-rempah di Nusantara. Monopoli perdagangan rempah di Nusantara terbukti menguntungkan bagi pihak VOC, walaupun pada akhirnya VOC harus bubar karena kesalahannya sendiri. Pada periode 1830, Hindia Belanda mengeluarkan kebijakan tanam paksa (cultursteelsel) beberapa komoditas pangan bernilai jual tinggi berhasil mengisi kembali kas milik Belanda yang sempat kosong akibat perang yang mereka jalani di Eropa dan Indonesia.

Rakyat Indonesia pun tidak buta akan potensi agrikultur Indonesia. Setelah kemerdekaan, para petani dan kaum-kaum termarginalisasi mencoba untuk merebut kembali kekuasaan atas tanah mereka. Semboyan “sama rata sama rasa” mereka gunakan untuk menuntut hak-haknya. Sayangnya, kemerdekaan tersebut tidak bertahan lama, setelah revolusi padam dan suasana

kembali kondusif, tanah para petani kembali menjadi hak milik militan lokal yang berkuasa secara sepihak.

Pada tahun 1959, Presiden Soekarno, dalam pidatonya yang berjudul Penemuan Kembali Revolusi Kita menekankan perlunya mengembalikan kepemilikan tanah ke tangan petani-petani Indonesia dan melaksanakan reformasi agraria yang dikenal sebagai landeform. Hasilnya, tahun 1960, diresmikan UU no. 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) yang sekaligus mencabut Agrarische Wet Tahun 1870 yang merupakan undang-undang agraria peninggalan Belanda. Landeform didefiniskan sebagai kebijakan pendistribusian tanah kepada petani-petani yang tidak memiliki tanah untuk kemudian mereka garap. UUPA juga sekaligus melindungi tanah adat, tanah wakaf, dan tanah yang berada pada daerah Swatantra dari alih fungsi. Hadirnya Barisan Tani Indonesia atau BTI yang didirikan pada 25 November 1945 merupakan cikal bakal organisasi profesi tani yang didirikan untuk membela hak- hak petani di Indonesia.

Pada tahun 1968, Revolusi hijau dimulai oleh Norman Borlaug. Istilah revolusi hijau merujuk pada pengembangan serealia dan jagung untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakat. Pemerintah Indonesia mulai menggalakkan pelaksanaan revolusi hijau pada era pemerintahan Presiden Soeharto. Dalam pelaksanaan Pelita I di Indonesia, pemerintah Orde Baru juga menekankan pada sektor agrikultur agar Indonesia dapat mencapai swaswembada pangan. Artinya, Indonesia mampu memenuhi kebutuhan pangan masyarakat. Hal tersebut diwujudkan melalui progran Panca Usaha Tani pada tahun 1984 yang meliputi 5 asas berikut:

  1. Pemilihan dan penggunaan bibit unggul
  2. Pemupukan secara teratur
  3. Irigasi yang baik dan cukup
  4. Pemberantasan hama secara intensif
  5. Teknik penanaman yang teratur.

Penerapan kelima asas Panca Usaha Tani pun berhasil membuat Indonesia mencapai swasembada pangan. Namun, akibat penggunaan pupuk kimia dan alih fungsi lahan secara berlebih pada pelaksanaan Panca Usaha Tani, terdapat beberapa dampak ekologis yaitu homogenisasi hutan, deforestasi, dan juga rusaknya unsur hara pada tanah.

Hingga saat ini, Indonesia masih sangat bergantung pada sektor pertanian. Pada hari Rabu, 1 September 2021, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan adanya peningkatan Nilai Tukar Petani (NTP) dan Nilai Tukar Usaha Petani (NTUP) sebanyak 1,16%. Peneliti Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia (LPEM UI), Riyanto mengatakan, kenaikan NTP dan NTUP merupakan bukti bahwa kesejahteraan petani perlahan-lahan mulai mengalami peningkatan. Hal ini juga menjadi bukti bahwa ketahanan pangan di era pandemi Covid-19 bukan sebuah angan-angan belaka. Namun, berdasarkan sensus BPS tahun 2018, jumlah petani dengan usia dibawah 25 tahun merupakan yang paling sedikit, yaitu pada angka 191.000 petani, sedangkan sebanyak 4.123.128 petani di Indonesia berusia diatas 65 tahun. Jika tidak terjadi regenerasi sumber daya manusia dalam bidang pertanian, jumlah petani di Indonesia akan menurun secara drastis.

Usaha yang Dapat Dilakukan Oleh Anak Muda

Topik ketahanan pangan di Indonesia saat ini tidak terlepaskan dari Pandemi Covid-19. Pandemi tersebut seakan-akan menghapuskan kemajuan agrikultur yang telah terjadi. Tetapi bukan tidak mungkin bagi Indonesia untuk bangkit dari keterpurukan di masa pandemi. Menurut Noer Fauzi Rachman (1999), terdapat empat usaha pokok yang dapat dilakukan untuk meningkatkan hasil tani, antara lain:

1. Intensifikasipertanian,yaitupeningkatankualitasdankuantitasproduksi tani dengan cara meningkatkan produktivitas kerja.

2. Ekstensifikasi pertanian, yaitu peningkatan kualitas dan kuantitas produksi tani dengan cara menambah faktor produksi pertanian

  1. Diversifikasipertanian,yaitupeningkatankualitasdankuantitasproduksi tani dengan cara pengembangan keanekaragaman jenis produk pertanian
  2. Rehabilitasi pertanian, yaitu peningkatan kualitas dan kuantitas produksi tani dengan cara memulihkan lahan dan sumber daya pertanian yangsudah kritis.

Saat ini, cara ekstensifikasi dan diversifikasi dipilih sebagai jalan utama menuju pemulihan sektor pertanian di Indonesia. Dari segi diversifikasi, sektor wanatani dan pertanian bahan pangan non beras menjadi pilihan. Sedangkan, pemulihan dengan cara ekstensifikasi berfokus dengan menambah sumber daya manusia.

Menteri Tenaga Kerja Ida Fauziyah mengatakan pada masa bonus demografi di tahun 2030-2040, jumlah penduduk usia produktif 15-64 tahun, lebih besar dibandingkan penduduk usia tidak produktif. Diprediksi, jumlah penduduk usia produktid akan mencapai 205 juta dan 2 jutaan usia produktif diantaranya akan masuk ke pasar kerja setiap tahun. Hal ini berarti Indonesia akan memiliki banyak sumber daya manusia yang terdidik dan terampil. Sumber daya manusia tersebut dapat memberikan kontrubusi bagi bangsa dan negara dalam berbagai bidang, salah satunya adalah bidang pertanian.

Nyatanya, saat ini Indonesia sedang mengalami krisis petani usia muda. Hanya 29% petani di Indonesia berusia di bawah 45 tahun. Padahal, bidang pertanian merupakan salah satu bidang esensial bagi keberlanjutan hidup masyarakat Indonesia mengingat Indonesia adalah negara agraris. Menurut Hugo Valin, dkk (2013), permintaan pangan dunia diprediksi akan meningkat sebanyak 59% hingga 98% pada tahun 2050. Untuk memenuhi kebutuhan yang meningkat, produksi hasil tani perlu ditingkatkan. Stigma petani sebagai profesi rendahan sudah melekat erat di mata masyarakat. Padahal, angka NTP terus meningkat. Per Agustus 2021, nilai NTP menyentuh angka 104,68%. Dilansir dari situs BPS, bila nilai NTP lebih dari 100, artinya para petani di Indonesia mengalami surplus. Jika dibandingkan dengan nilai NTP

pada Januari 2021 yaitu sebesar 103,26%, maka angka tersebut mengalami kenaikan sebanyak 1,42%. Artinya, kesejahteraan petani di Indonesia terus meningkat. Tak hanya stigma sosial yang melekat, namun sulitnya lahan untuk bertani juga menjadi salah satu faktor mengapa bidang pertanian jarang dilirik oleh generasi muda. Dilansir dari Bank Dunia, pada tahun 2017, hanya 31,5% lahan di Indonesia yang digunakan untuk bertani. Banyaknya lahan pertanian yang dialihfungsikan sebagai perumahan dan perkantoran juga semakin mempersempit lahan untuk bertani. Untuk mengatasi krisis lahan tersebut, sistem pertanian alternatif bisa menjadi pilihan untuk para petani. Terdapat tiga metode bertani yang tidak membutuhkan lahan luas, yaitu:

  1. Metode hidroponik, yaitu menggunakan media air yang diperkaya zat hara.
  2. Metode akuaponik, yaitu pemeliharaan tanaman dan ikan dalam satu wadah.
  3. Metode aeroponik, yaitu dengan menyeprotkan unsur hara ke akar tanaman.

Metode-metode alternatif tersebut dapat mengatasi masalah lahan yang tidak memadai. Ketiga metode di atas juga dapat menjadi solusi bagi masyarakat perkotaan yang ingin bertani namun terhalang keterbatasan ruang.

Sayangnya, tak sedikit dari masyarakat Indonesia yang menganggap bertani sebagai profesi yang udik dan ketinggalan zaman. Anggapan bahwa bertani bukanlah profesi yang penting kerap diutarakan oleh generasi muda saat ini. Ada ketidaksesuaian antara nilai-nilai yang ditanamkan pada generasi muda dengan budaya asli Indonesia sebagai negara agraris. Contohnya, budaya Jawa sangat menekankan pentingnya tanah dan agrikultur sebagai sumber kehidupan. Hal ini terlihat dari pepatah “sadumuk bathuk sanyari bumi ditohi kanti pati” yang berarti meski tanah yang direnggut hanya segores di dahi, harus dipertahankan sampai mati.

Kesuksesan yang terdapat di benak generasi muda saat ini identik dengan gedung-gedung pencakar langit, lengkap dengan teknologi canggih dan mutakhir. Masyarakat luas umumnya telah melupakan jati diri bangsa Indonesia sebagai negara agraris, terlalu terlena dengan teknologi masa kini. Padahal, bertani bukan berarti kembali ke zaman batu. Menurut Simon Blackmore (2017), penggunaan teknologi robotik di bidang agrikultur dapat menghasilkan hasil panen yang lebih banyak dan lebih ramah lingkungan. Tak sedikit pula anak muda Indonesia yang sudah membuktikan bahwa kesuksesan juga bisa diraih dengan cara bertani.

Salah satunya adalah Nikita Sulaiman Akbar (30), seorang pemuda asal Purbalingga, Jawa Tengah. Bersama 10 orang temannya, Nikita mendirikan Harvestmind, sebuah usaha pertanian organik. Dengan bermodal lahan sewaan seluas 4200 meter persegi, mereka berhasil memanen 1,3 ton padi pada Mei 2020. Hasil panen tersebut dipasarkan secara digital melalui media sosial. Mereka juga kerap berkolaborasi dengan seniman-seniman muda di daerahnya, salah satunya dengan band black metal Bvrtan. Nikita dan rekannya juga memanfaatkan jaringan informasi dari Koperasi Aliansi Organik Banyumas untuk bertukar informasi, pengalaman, serta barter benih lokal untuk ditanam. Keberadaan Harvestmind ini sesuai dengan anjuran dari Kepala LIPI, Laksana Tri Handoko, yaitu memanfaatkan pertanian sebagai lahan ekonomi kreatif di masa pandemi Covid-19.

Selain Harvestmind, hadir pula platform digital seperti petanimuda.co.id dan petanidigital.id yang kerap menyuarakan pentingnya bertani untuk generasi muda di Indonesia. Platform-platform tersebut juga kerap mengadakan acara-acara bertema agrikultur yang digalakan untuk anak muda. Contohnya adalah Walaku Festival pada 1 September 2019 di Indmira, Yogyakarta. Salah satu pokok acara festival tersebut adalah kelas Urban Farming yang ditujukan bagi mereka yang ingin bertani namun terhalang oleh keterbatasan lahan. Para peserta kelas akan diajarkan cara budidaya tanaman dengan media hidroponik. Meski festival tersebut tidak bisa kembali digelar di masa pandemi, tetapi ilmu yang didapatkan oleh peserta akan bermanfaat bagi mereka untuk menghasilkan bahan pangan masing-masing di rumah.

Pemerintah Indonesia juga mendukung hadirnya petani-petani muda untuk mendukung regenerasi sumber daya manusia dalam bidang pertanian. Salah satu program pendukung dari pemerintah adalah Gerakan Tani Milenial yang digalakan oleh Kementrian Pertanian. Pada tahun 2019, Kementrian Pertanian merangkul 4 juta santri untuk membangun pertanian. Para santri tersebut menerima bantuan langsung benih unggul untuk padi, jagung, dan tanaman hortikultura, dan ternak. Mereka menerima 102 ekor sapi, 500 ekor kambing/domba, dan 10.000 ekor ayam, serta bantuan alat mesin pertanian (alsintan) berupa 10 hand tracktor. Selain bantuan berupa barang, para santri juga menerima kelas pelatihan bertani dan agribisnis. Selanjutnya, pada 21 Mei 2021, Kementrian Pertanian meluncurkan program Gerakan Tani Milenial di Papua dan Papua Barat. Menurut Staf Khusus Presiden Milenial Billy Mambrasar, program tersebut disambut antusias oleh pemuda-pemuda di Papua dan Papua Barat. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya pemuda yang mendaftarkan diri untuk program tersebut.

Melalui proses digitalisasi dan penggunaan internet, informasi dan ilmu pengetahuan mengenai pertanian tidak lagi sulit untuk dicari. Salah satunya adalah seminar daring bertema Pertanian dan Petani Milenial Menuju Era Society 5.0. yang digelar oleh Universitas Hassanudin. Dalam seminar tersebut, Menteri pertanian Syahrul Yasin Limpo mengatakan bahwa masa depan pertanian Indonesia ada di tangan anak-anak muda generasi milenial. Beliau juga menegaskan bahwa nantinya para petani muda akan memberikan perubahan serta mengangkat industri pertanian ke arah yang lebih baik. Oleh sebab itu, Kementrian Pertanian akan terus mengupayakan lahirnya petani milenial.

Kepahlawanan bagi sebagian besar masyarakat Indonesia memang identik dengan perjuangan fisik, perang, dan perjuangan secara militer. Padahal, kepahlawanan tak melulu soal fisik. Dilansir dari KBBI V, pahlawan didefinisikan sebagai orang yang menonjol karena keberanian dan pengorbanannya dalam membela kebenaran; pejuang yang gagah berani, sedangkan kepahlawanan merupakan sifat pahlawan. Berdasarkan definisi di atas, seseorang yang berani dan rela berkorban juga merupakan seorang pahlawan. Sebagai anak muda, berani terjun dan menggeluti bidang agrikultur demi mencapai ketahanan pangan di Indonesia juga bisa menjadi suatu bentuk kepahlawanan. Pandemi Covid-19 yang tengah melanda memang mempersulit keadaan bagi seluruh rakyat Indonesia. Mengingat saat ini, untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakatnya, Indonesia masih bergantung pada impor dari luar negeri.

Selain untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakat, petani-petani muda juga dapat membantu menurunkan kurva harga bahan pangan yang terus melonjak di masa pandemi. Kenaikan harga bahan pangan ini diduga diakibatkan oleh hasil panen yang tak mampu memenuhi kebutuhan masyarakat. Melihat wilayah Indonesia yang beriklim tropis, tak ayal lahan pertanian tumbuh subur. Jika dimanfaatkan dengan baik, ada kemungkinan bagi Indonesia untuk menjadi eksportir bahan pangan nomor satu di dunia. Oleh sebab itu, sekaranglah saatnya untuk menghapuskan stigma buruk di bidang pertanian. Kesuksesan tak melulu soal bekerja di kantor dengan pendingin ruangan, tetapi juga bisa diraih dengan cara membantu Indonesia meraih ketahanan pangan di tengah pandemi Covid-19

Sudah saatnya generasi muda di Indonesia membuka matanya akan potensi agrikultur tanah air. Dengan pemanfaatan yang benar, Indonesia akan mampu mencapai ketahanan pangan meskipun sedang dilanda oleh pandemi Covid-19. Bertani bukanlah sebuah profesi yang hina, melainkan suatu bentuk melestarikan budaya Indonesia yang kini sudah mulai tergerus zaman. Bila ketahanan pangan di Indonesia sudah tercapai dan produktivitas tani serta hasil panen terus meningkat, ada kemungkinan bahwa Indonesia dapat menjadi produsen bahan pangan terbesar di dunia.