Penulis: Subhan
Ini pertanyaan yang senantiasa menggelantung di pikiran penulis manakala hendak membutuhkan sesuatu. Mesti saja dalam percakapan dengan orang Jepang siapapun itu profesinya pramugari, staf hotel, sopir, karyawan, pelajar, guru, orang tua asuh home stay dll respon yang didapat selalu bahasa Jepang. Sekalipun kami tidak memahami tetap saja mereka nyerocos , dengan bahasa Jepang. Untuk memahamkan komunikasi mereka menegaskannya dengan bahasa isyarat.
Luar biasa hasilnya, memasuki hari ketiga kami beserta rombongan tim Musubi sangat adaptif walaupun komunikasi terbatas. Artinya sekian persen kami sudah dapatkan pemahaman kebiasaan warga Jepang baik cara berekonomi, bersosial, belajar, berbudaya, beragama, bentang alam, bentuk rumah, teknologi komunikasi dll melalui proses observasi dan sedikit wawancara.
Agar tidak gegar bahasa, kami memilih mengalah dengan cara belajar bahasa Jepang pada jam 13.34 di Hoisimura Internasional Osake School karena tampaknya mereka bersikukuh, harga mati, menggunakan bahasa Jepang saja, Bahasa Inggris no way setelah sebelumnya kami meninggalkan Hotel Universal Port pada 09.09 dan terjebak sedikit kemacetan.
Inilah kemacetan pertama yang kami alami setelah empat hari di Jepang karena renovasi jalan.
Menurut salah satu sumber, bulan April 2024 adalah tahun tutup anggaran sehingga otoritas Jepang mengeluarkan semua anggaran untuk perbaikan, tapi tidak fiktif loh……
Sekilas, balik ke aktivitas Jumat pagi ini, sebelum belajar bahasa Jepang rombongan belajar tentang tea ceremony di Sakai Plaza of Rikyu and Akiko pada jam 10.04.
Mengapa minum teh saja diseremonialkan? Sedemikian berhargakah teh sampai harus ada seremonialnya?
Begini penjelasan menurut petugasnya, bahwa teh tidak hanya dituang dengan air panas dan diminum, tetapi sebagai seni dalam arti luas. Upacara minum teh mencerminkan kepribadian dan pengetahuan tuan rumah yang mencakup antara lain tujuan hidup, cara berpikir, agama, apresiasi peralatan upacara minum teh dan cara meletakkan benda seni di dalam ruangan upacara minum teh.
Adapun tujuan dari tradisi upacara minum teh Jepang menurutnya adalah untuk menciptakan ikatan antara tuan rumah dan tamu serta menjaga keharmonisan hubungan keduanya. Tuan rumah menghargai kehadiran tamu di tempatnya melalui jamuan upacara minum teh yang dilakukan dengan urutan yang ketat dan gerakan yang rumit.
Kembali ke cerita awal, mengapa orang Jepang tidak terlalu terampil berbahasa Inggris dan memilih menggunakan bahasa Jepang? Menurut Safitri, salah satu fasilitator program Musubi menyebutkan bahwa orang Jepang tidak berkepentingan dengan dengan bahasa Inggris baik ekonomi, budaya, sosial, juga keilmuan. Misal, secara ekonomi Jepang adalah negara makmur ditandai dengan terserapnya banyak pekerja. Selain itu kemampuan pelafalan fonem dan konsonan orang Jepang memiliki kekhasan tersendiri dan ini menjadi tantangan khusus.
Usai pembelajaran bahasa tuntas, pada jam 15.50 kami melanjutkan pembelajaran kaligrafi di kota Uda, provinsi Nara. Sebuah kota bernuansa desa tetapi berfasilitas kota. Sekaligus di tempat ini pun dilakukan serah terima siswa Musubi SMA Labschool Kebayoran ke pihak orang tua asuh home stay.