Penulis : Jessica Gunawan (XII MIPA 1)

     Kebudayaan Indonesia tidak dapat dipisahkan dengan unsur klenik dan mistik. Kepercayaan masyarakat Indonesia terhadap hal-hal gaib seakan-akan sudah menjadi suatu hal yang mengakar dan serta merta membentuk identitas budaya Indonesia. Hal tersebut terlihat jelas dalam folklore dan urban legend yang beredar di masyarakatnya. Kisah-kisah supranatural, dengan hantu atau sosok ghaib lainnya sebagai lakon utama sudah tidak asing di telinga kita, seperti kisah Kuntilanak dan Si Manis Jembatan Ancol. Tak hanya dari segi cerita yang beredar mulut ke mulut, sifat klenik dan mistis tersebut juga tercermin jelas dalam media yang beredar luas pada masyarakatnya, tak terkecuali media film. Dilansir dari KBBI, film didefinisikan sebagai lakon atau cerita gambar hidup, sedangkan horor didefinisikan sebagai sesuatu yang menimbulkan perasaan ngeri atau takut yang amat sangat. Sedangkan menurut Dharmawan (2008), film horor adalah film yang dirancang untuk menimbulkan rasa ngeri, takut, teror, atau horor dari para penontonnya.

     Film horor merupakan salah satu genre yang paling diminati oleh masyarakat Indonesia, hal ini dibuktikan dengan keberadaan “KKN di Desa Penari” (2022) sebagai film layar lebar Indonesia terlaris saat ini. Bahkan, genre film horor telah ada sejak lama di Indonesia, dengan film “Tengkorak Hidoep” (1945) sebagai pemrakarsa film horor Indonesia. Menurut Van Heeren (2012), terjadi pergeseran pada perfilman horor Indonesia, dimana sebelumnya cerita yang digunakan merupakan adaptasi dari folklore atau cerita rakyat, kini bergeser menjadi urban legend atau cerita yang beredar di masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari berkurangnya film horor yang merupakan adaptasi dari cerita mengenai makhluk mistis yang dikenal masyarakat tradisional, seperti Kuntilanak, Sundelbolong, Wewe Gombel, dan sebagainya, menjadi film horor yang diadaptasi dari kisah seseorang atau kisah yang sedang ramai dibicarakan di masyarakat. Beberapa contoh dari film horor kontemporer adalah “Si Manis Jembatan Ancol” (2019) dan “KKN di Desa Penari” (2022).

     Dalam film horor Indonesia seringkali ditampilkan pembagian peran yang begitu hitam-putih antara tokoh baik dan jahat, dimana tokoh baik seringkali diperankan oleh sesosok pemuka agama yang dipuja masyarakat, dan tokoh jahat dianggap tidak sesuai dengan norma dan dan dapat merusak keteraturan di masyarakat dengan membawa kekacauan. Menurut Larasati, (2021) 338 dari 559 film horor Indonesia yang diproduksi antara tahun 1970-2019 menampilkan sosok hantu utama seorang wanita. Kemudian munculah sebuah pertanyaan, apakah penggunaan tokoh hantu wanita tersebut merupakan suatu keputusan yang disengaja? Atau hanya kebetulan belaka? Mengapa meski terjadi pergeseran pada perfilman horor Indonesia, mayoritas film horor masih menampilkan wanita sebagai tokoh hantu? Hal tersebut juga menimbulkan tanda tanya yang lebih besar, mengingat media film merupakan representasi dari masalah-masalah yang terdapat di masyarakat. Tidak menutup kemungkinan bahwa penggambaran hantu wanita dalam media film horor membawa dampak bagi gerakan feminisme dan emansipasi wanita di dunia nyata, khususnya di Indonesia.

   Hadirnya sosok hantu wanita sebagai representasi wanita dengan mengikuti formulasi cerita horor secara umum menimbulkan interpretasi yang bervariasi sesuai dengan sudut pandang yang digunakan. Pendekatan yang dipakai berasosiasi dengan tafsiran masing-masing, dan tidak bisa berdiri sendiri karena akan selalu berhubungan dengan pendekatan lainnya. Penangkapan makna akan hal interpretasi hantu wanita bisa ditinjau dari sisi industri film dan masyarakat, dan juga perspektif feminisme. Ada pendapat bahwa media tubuh dan vokal dari wanita merupakan hasil produk seni yang lebih menjual dibandingkan dengan laki-laki, dimana keelokan dari wanita, secara seni dan industri, akan lebih “menjual” dan menarik konsumen dibandingkan dengan pria.

  Ketika membicarakan industri perfilman, tidak akan jauh ulasannya dari perkembangan teknologi informasi yang berkembang di dalam tatanan sosial masyarakat dimana hal ini sangat mendukung penggambaran imaji dan perumusan sudut pandang tersebut. Selain itu, dampak dari adanya teknologi di dalam lingkungan masyarakat juga berakibat pada unsur-unsur bentuk sosial-budaya yang dapat dipengaruhi. Maka dari itu, industri film sendiri tidak hanya wujud dari sebuah pasar yang menghasilkan arus informasi, namun ia juga menghasilkan suatu produk budaya yang ditangkap di dalam khalayak umum.

     Dari sudut pandang pelaku film, ada yang mengatakan bahwa film imitates life (film meniru kehidupan). Realita sebuah demand and supply yang beredar di lingkungan dimanfaatkan oleh para pelaku industri. Selama masih diinginkan oleh masyarakat dan adanya yang berinisiatif untuk menontonnya, maka produk tersebut tidak akan habis dan akan terus-menerus dimanfaatkan oleh pelaku industri untuk dijadikan sebuah produk ekonomi. Ketika dikaitkan kembali dengan representasi hantu wanita dalam horor, maka didapatkan dari sudut pandang industri film bahwa peran perempuan yang dijadikan hantu tidak ada korelasinya dengan stigmatisasi maupun bias gender terselubung. Mereka hanya mempertunjukkan kembali keadaan masyarakat sekarang ditumpahkan dalam bentuk seni yaitu tontonan masyarakat.

     Dengan beredarnya media dan teknologi, eksistensi perempuan akan lebih mudah untuk terekspos dibandingkan sebelumnya. Representasi feminisme dalam ruang lingkup industri media—terutama horor—secara tidak langsung menggambarkan adanya ketimpangan sosial status yang melekat pada wanita. Kacamata feminis ini menawarkan dua hal, representasi wanita hantu dalam film horor yang dapat diinterpretasikan sebagai aksi untuk melawan stigma yang ada, atau bisa menjadi sesuatu yang membuat stigma tersebut semakin melekat ke identitas seseorang sebagai wanita.

    Adanya type formula tokoh wanita di dalam narasi horor yang terus-menerus disajikan, yaitu dimana penggambaran wanita yang menjadi korban, lalu ia meninggal dalam kondisi belum mendapatkan perlawanan. Maka, akhirnya ia berubah menjadi monster atau hantu setelahnya dan berusaha untuk mendapatkan keadilan yang sebelumnya ia tidak bisa raih. Ketika hal tersebut digali kembali, maka ada makna bahwa perempuan tidak bisa melawan saat ia masih hidup, bahwa masih ada stereotip yang akan terus melekat pada perempuan, dan itu dianggap sebagai cara patriarkis untuk mendomestikasi perempuan di layar film.

     Pandangan feminisme ini menunjukkan rasa sakit dan penderitaan yang dialami oleh wanita tidak dijadikan motivasi dan alat untuk membantu dan menyadarkan keadaan masyarakat, justru menjadi suatu bumerang bagi kaum wanita sendiri, yaitu menjadi alat kontrol sosial tambahan yang akan kembali mengekang dan membelenggu wanita pada akhirnya. Hal tersebut bisa dilihat sebagai perlawanan untuk kaum perempuan karena kita bisa melihat hantu perempuan menjadi visualisasi pembebasan perempuan dari segala norma sosial yang mengikat. Tapi kalau kita melihatnya dari sisi lain, masih terlihat bahwa ada konstruksi perempuan yang tidak baik dalam masyarakat.

     Maka dapat disimpulkan bahwa memang benar adanya penggambaran wanita sebagai sosok hantu dalam film horor memiliki imbas terhadap gerakan feminisme dan emansipasi wanita. Namun, baik buruknya dampak tersebut kembali lagi menjadi interpretasi dari masing-masing. Salah satu pendapat menyatakan bahwa hal tersebut justru seharusnya menjadi ruang bagi wanita untuk dapat angkat bicara mengenai ketidakadilan yang selama ini diterimanya, sedangkan, ada pula yang berpendapat bahwa hal tersebut merupakan salah satu bentuk dari dehumanisasi wanita, yang pada akhirnya wanita dianggap sebagai hal yang abjek, yaitu tidak sesuai dengan tatanan norma yang ada dan segala bentuk penyimpangan tersebut harus “diluruskan.”

            Selain itu, terdapat pula anggapan bahwa keberadaan wanita sebagai hantu dalam film horor tidak lepas dari objektifikasi dan eksploitasi perempuan, dimana para hantu wanita tersebut tidak terlepas dari penggunaan seksualitas dan kecantikan wanita sebagai strategi marketing atau poin penjualan film tersebut, dimana terdapat kecenderungan untuk mengkomodifikasi kesengsaraan wanita. Pada akhirnya, dapat dibilang bahwa maraknya hantu wanita yang disajikan dalam media film merupakan refleksi dari keadaan dan kedudukan wanita di masyarakat, yang hingga saat ini masih dipandang sebelah mata dan “asing” oleh masyarakat luas, terutama oleh pria. Sehingga terlihat masih adanya stigmatisasi dan stereotip tersirat terhadap kaum wanita yang masih terlarut di dalam strata sosial dan norma serta aturan di masyarakat yang ada untuk mengikat dan membatasi lingkup gerak wanita.