Karya Rania Putri Amostian (X MIPA 4)
Perkenalkan, nama dia Awan. Ia adalah seorang gadis remaja berusia 15 tahun yang lumayan tinggi, bermata bulat, dan berbibir tipis. Awan adalah sosok yang dianggap amat beruntung bagi orang-orang yang di sekitarnya. Parasnya rupawan, otaknya cemerlang, dan hidupnya berkecukupan.
Sebagai seorang anak tunggal, banyak yang mengira bahwa dirinya diperlakukan bak tuan putri di negeri dongeng. Akan tetapi, ekspektasi orang-orang harus dipatahkan, karena di balik sebuah keindahan, pasti akan tersimpan kejelekan yang amat memilukan.
Pada awalnya, keluarga Awan merupakan keluarga yang amat bahagia. Namun, kebahagiaan tersebut berakhir ketika ibunya tewas akibat sebuah kecelakaan. Semenjak itu, Awan yang berusia enam tahun harus tinggal jauh dari orang tua dan tinggal sendiri bersama seorang asisten rumah tangga yang ia panggil sebagai bibi.
Kepergian ibunya membuat sikap dan perilaku ayahnya berubah drastis. Pribadi ayahnya yang dulunya hangat menjadi dingin. Kehadiran beliau di rumah dapat terhitung oleh jari. Miris, tapi memang begitu faktanya.
Di sosial media, mungkin kehidupannya terlihat amat indah. Namun, di balik itu, ada banyak cerita yang tidak terungkapkan.
Seandainya ada mesin waktu, Awan rela membelinya dengan harga berapapun. Ia ingin kembali ketika ia berusia enam tahun dan datang untuk mencegah insiden kecelakaan yang menewaskan ibunya, dengan harapan semuanya akan kembali seperti semula, dan keluarga bahagia itu tetap ada sampai saat ini.
Cerita Awan makin tragis ketika ia menginjak usia 15 tahun, tepatnya pada saat ini. Walaupun hidup bersama dengan bibi yang sudah menemaninya sejak kecil, Awan merasa terasingkan. Ia merupakan siswi terkenal yang memiliki segudang, tapi ia merasa belum cukup dengan hal tersebut. Kepergian ibunya seolah menyebabkan sebuah perasaan hilang dari dalam dirinya, dan sampai akhirnya ia sadar, bahwa yang hilang adalah rasa bahagia, dan kesadaran itu membuatnya merasa kesepian.
Kesepiannya itu tertuang dalam tangisannya tiap malam; tangisan yang tidak terdengar isakannya, tangisan yang membuat paginya diwarnai dengan mata merah nan bengkak, tangisan yang amat rumit karena ia sendiri tidak tahu persis apa yang menyebabkannya menangis tiap malam sembari ditutupi oleh bantal lembut pengantar tidur.
Awalnya hanya tangisan, namun lama-kelamaan, tubuhnya mulai tak terkendali. Tangisan itu kini ditemani dengan rasa sesak dan perasaan gelisah. Ya, bagaikan awan yang akan menumpahkan hujan jika tak sanggup lagi menanggung beban yang berat, Awan yang kehilangan langitnya. Apalah arti awan jika tidak ada langit yang menaunginya?
Sudah banyak teman yang ia jadikan tempat bercerita, dan sudah banyak psikiatris yang memberikannya obat penenang. Perlahan, ia mulai menyadari bahwa yang ia perlukan bukanlah seorang teman maupun psikiatris, yang ia perlukan adalah seorang orang tua. Ayah yang merupakan satu-satunya keluarga inti yang ia miliki. Namun, beliau tidak tinggal di bawah atap yang sama dengannya karena pekerjaan, dan Awan mencoba mengerti hal itu.
Bekerja sebagai seorang abdi negara membuat ayahnya amat sangat sibuk. Bahkan, Awan merasa bahwa ayahnya sudah melewati batas kerja manusia, karena ia tidak meluangkan waktu untuk beristirahat dan membesarkan Awan, walaupun sesungguhnya kerja keras itu beliau lakukan untuk Awan.
Hingga suatu hari, ayahnya memberi kabar bahwa ia akan kembali bertugas di Jakarta. Betapa bahagianya Awan pada hari itu, satu kejutan Tuhan datang dan menghapus secuil kesedihan di kesendiriannya Awan.
Setelah mengetahui itu, dengan senyum yang amat lebar, Awan berkata, “Bi, nanti kita masakin ayah makanan kesukaan ayah yah kalau ayah sudah sampai!”
Bibi hanya bisa menangis dan tersenyum bahagia mendengar perkataan Awan. Sudah lama rasanya ia tidak melihat senyuman Awan.
Keesokan paginya, Awan terkejut melihat sosok seseorang di teras rumahnya. Beliau membaca koran dan menyesap secangkir kopi. Awan kira ayahnya tidak akan datang secepat ini. Entah mengapa, pagi itu, ia justru tidak segembira ketika mendengar kabar kedatangan ayahnya. Rasanya sulit dijelaskan, ia tidak sedih maupun tidak senang atas kedatangan ayahnya. Bahkan, tidak ada perkataan yang keluar dari mulut Awan pada pagi itu.
Setelah melihat ayahnya, Awan malah berlari ke kamar dan mengunci pintunya. Beberapa detik setelah ia tiba, bibi mengetuk pintu kamar Awan dan bertanya padanya.
“Awan, katanya mau masakin ayah makanan kemarin. Jadi atau engga nih?”
Dari dalam kamar, Awan membalas dengan nada kesal. “Gak jadi deh Bi, ga mood. Kalau mau, Bibi aja. Aku mau istirahat.”
Mendengar jawaban itu, Bibi hanya bisa menghela napas dan beranjak pergi dari depan kamar. Lubuk hati terdalamnya berharap agar hubungan keluarga sang majikan dapat kembali seperti dulu.
Hari-hari pun berganti. Sudah 13 hari sejak ayahnya berada di rumah yang sama dengan Awan. Namun, belum ada satupun percakapan penting di antara keduanya. Hanya ada pertanyaan retoris dari ayahnya, seperti yang tiba-tiba beliau tanyakan pada sore ini.
“Awan, lagi makan ya?”
“Awan, lagi ngapain?”
Amat disayangkan. Pertanyaan-pertanyaan itu hanya dijawab Awan dengan sangat simpel, seperti dengan kata “ya”, “tidak”, atau sebuah anggukan kepala.
Sesungguhnya, Awan ingin sekali rasanya menyudahi kelakuan dan kecanggungan hubungannya dan sang ayah. Ingin sekali ia memeluk ayahnya ketika beliau pulang, tapi terdapat sebuah batas kasat mata yang Awan dirikan secara tak sadar, yang membuatnya jauh dari sang ayah.
Ditambah, kesibukan ayahnya yang tiak hari bekerja membuat tidak banyak quality time yang dapat mereka berdua lakukan. Dan kalau boleh jujur, Awan merasa sangat iri pada teman-temannya yang memiliki banyak waktu dengan orang tua mereka, terutama ayahnya.
Beberapa hari kemudian, tiba-tiba, ayahnya memasakkan sup ayam kesukaan Awan. Awan bingung. Keajaiban apa lagi ini? Padahal, awalnya aku yang ingin memasak. Tapi kok malah ayah yang membuatkanku makanan?
Awan tidak menyadarinya, namun terdapat sedikit kesedihan di hati Awan yang mulai terkikis. Ada sebuah kebahagiaan yang datang di dalam diri Awan setelah apa yang telah ayahnya lakukan pagi itu dengan memasakkan hidangan kesukaan Awan.
Walaupun merasa senang, Awan juga merasa aneh dengan perlakuan ayahnya pada hari itu. Bahkan, Awan sampai mengira bahwa beliau bukan ayahnya, dan melainkan salah satu dari tujuh kembaran ayahnya yang tersebar di seluruh dunia. Ia bingung, ia amat bingung. Dan karena ia sangat bingung, ia memutuskan untuk bertanya kepada bibinya.
“Bi, Ayah kok aneh ya? Masa tiba-tiba masaki aku sup ayam. Ayah kenapa ya, Bi?”
Bibi menggelengkan kepalanya. “Mungkin ayahmu sedang senang kali Wan. Kamu mending masuk ke dalam rumah saja. Sudah gelap di sini.”
Awan hanya bisa menghela napas mendengar jawaban bibi-nya tersebut. Ia masih belum puas dengan jawaban tersebut.
Keanehan sang ayah tidak berhenti sampai di situ. Hari ini justru jauh membingungkan, karena sang ayah yang seharusnya bekerja malah sedang mencuci mobil di depan rumah. Padahal, biasanya anak buah ayah yang akan melakukan hal itu. Awan pun menonton ayahnya dari pintu teras – lebih tepatnya, ia melamun dengan posisi wajahnya menghadak kepada sang ayah. Sampai ia tidak sadar kalau ayahnya sudah duduk di teras itu.
“Awan, duduk sini nak. Ayah mau bicara sama kamu.”
Ucapan ayah membuat Awan terkejut. Awan pun duduk di kursi yang ada di hadapan ayahnya. Beberapa menit pertama, hanya ada kesunyian di antara keduanya, sampai pada akhirnya ayah pun memecah keheningnan tersebut.
“Awan, kok kamu nggak pernah cerita sih ke ayah kalau kamu sering nangis dan mengonsumsi obat penenang?” Selama ini ayahnya tahu apa yang dihadapai oleh putrinya tersebut, dan Awan tidak pernah tahu kalau dia tahu.
Mata ayah berkaca-kaca. “Ayah merasa gagal nak, karena ayah kira selama ini kamu senang senang saja… tapi nyatanya kamu seperti ini.”
“…Ayah,” Awan memanggil. “Awan boleh bicara?”
Pertanyaan Awan dibalas oleh anggukan sang ayah yang berusaha menampilkan senyuman terbaiknya. Awan menggigit bibirnya sendiri, dan berkata dengan suara gemetar. “Ayah… selalu sibuk. Ayah… selalu kerja… Ayah nggak pernah punya waktu buat Awan,” ia berkata, tubuhnya mulai beriring gemetar. “Kadang-kadang… aku suka bertanya ke diriku sendiri, nanya, mikirin apa ayah sebenarnya sayang sama aku. Dan sekarang, aku sadar. Ayah nggak pernah sayang sama aku. Karena dari dulu, sejak awal, aku nggak bahagia, dan Ayah nggak tahu soal itu.”
Tetesan air mata jatuh dari sang ayah. Momen itu, ia menyadari bahwa putrinya lebih membutuhkan kehadirannya dibandingkan dengan uang hasil kerja kerasnya. Putrinya membutuhkan langit untuk menaungi sang awan, bukan hujan yang terus turun sehari-harinya.
Awan melanjutkan ucapanya. “Ayah, aku minum obat dari psikiater karena aku sudah nggak sanggup lagi merasa sendiri, Awan nggak sanggup tinggal tanpa Ayah! Ayah yang bikin hidup Awan jadi kayak begini, jadi kesepian, sendirian… tapi, lagi-lagi Ayah nggak sadar!” Awan berdiri dari kursinya, ia merasa sangat geram. “Cukup Yah! Cukup. Awan udah nggak mau lagi dengar alesan, dengar tangisan ayah.”
Awan mencoba untuk beranjak pergi dari tempat itu, namun tangan ayah menahannya. “Awan,” panggil Ayah, menggenggam erat kedua tangan Awan. “Ayah minta maaf ya nak. Ayah… sayang kok sama Awan. Ayah janji untuk bisa bikin Awan bahagia lagi.”
Setelah kata-kata sang ayah, keheningan kembali hadir di antara keduanya. Sang ayah dan anak sama-sama menatap kosong bangku di hadapan mereka.
Tangisan luruh dari mata Awan. “Yah, janji sama Awan kalau kita bakal jadi keluarga bahagia kayak dulu lagi ya. Ayah harus ingat kalau yang Awan butuhkan itu keberadaan Ayah, dan bukan hanya uang Ayah!” Permintaan Awan dibalas dengan sebuah anggukan dan senyum yang sangat hangat dari sang ayah.
Hari itu berbeda dari hari biasanya. Hari itu, ada kebahagiaan kecil yang baru lahir dari beragam kesedihan yang berada dalam keluarga tersebut. Hari itu, Awan kembali menemukan langit yang selama ini ia nantikan. Langit yang kian lama akan menjadi semakin indah dengan keberadaan awan.