Penulis: Aliya Kamila (XI MIPA 3)

Tingginya Prevalensi Stunting di Indonesia
Anak-anak dengan kondisi stunting (viva.co.id)

Kondisi gagal tumbuh pada anak balita yang mengakibatkan tinggi tubuh terlalu pendek dibanding anak seusianya atau disebut juga dengan istilah stunting ini masih menjadi persoalan yang harus dihadapi oleh bangsa Indonesia. Persentase balita stunting di Indonesia masih terbilang sangat tinggi, yakni 29,6% di atas Batasan yang diterapkan oleh World Health Organization (WHO) yaitu sebesar 20%. Dengan demikian, Indonesia termasuk negara yang memiliki masalah kesehatan masyarakat. Sejak tahun 1992 hingga 2013 penurunan angka stunting di Indonesia hanya mencapai angka 4%. Salah satu upaya yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia pada tahun 2013 adalah Gerakan Nasional Seribu Hari Pertama Kehidupan untuk meningkatkan status gizi balita. Stunting merupakan masalah yang sangat serius. Risiko dari permasalahan gizi ini merupakan risiko jangka panjang yakni sampai usia dewasa, walau masih dapat diperbaiki pada usia dini. Ibu dan calon pengantin wajib dibekali ilmu pengetahuan yang cukup tentang gizi dan kehamilan. Salah satunya ialah edukasi program ASI eksklusif sampai usia 2 tahun. Selain itu edukasi mengenai Makanan Pendamping ASI atau MPASI juga harus dipahami oleh para ibu secara maksimal. 

Maraknya stereotype di Indonesia ketika seorang anak memiliki tubuh pendek itu disebabkan oleh keturunan merupakan persepsi yang salah. Hal ini mengakibatkan angka stunting di Indonesia sulit untuk diturunkan dan membutuhkan upaya besar dari pemerintah. Faktanya, pengaruh keturunan hanya berkontribusi sebesar 15% dalam tumbuh kembang balita, sementara unsur terbesar adalah terkait asupan gizi, hormon pertumbuhan, dan penyakit infeksi berulang. 

Masalah stunting ini merupakan tantangan bagi kemajuan bangsa Indonesia. Pertumbuhan stunting berdampak jangka panjang hingga berulang dalam siklus kehidupan. Masalah ini bersifat kronis, di mana akan mempengaruhi fungsi kerja otak yakni menurunkan tingkat kecerdasan seorang balita yang akan berdampak bagi kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) bangsa Indonesia. Dari hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) menunjukkan bahwa, dari 33 provinsi yang terdapat di Indonesia, lebih dari separuhnya memiliki angka persentase di atas rata-rata nasional. 

Stunting dapat menyebabkan anak mengalami gangguan perkembangan otak, studi menemukan bahwa anak dengan kondisi stunting memiliki kemampuan kognitif yang rendah dan membuat performa anak tersebut di sekolah menjadi lebih buruk. Dampak stunting sering dikaitkan dengan kecerdasan yang lebih rendah pada usia sekolah. Hal ini menunjukkan bahwa, dampak dari stunting tidak hanya pada tampilan fisik tetapi juga intelektual seorang anak. Selain kemampuan kognitifnya menurun, stunting juga mempengaruhi tingkat kefokusan anak. Gangguan pemusatan konsentrasi ini membuat anak menjadi lebih sulit untuk belajar. Sehingga, kondisi stunting ini juga mempengaruhi sang anak dalam meraih prestasi di sekolah. Selanjutnya yang tak kalah mengerikan, anak yang mengalami pertumbuhan stunting lebih rentan mengalami penyakit tidak menular saat usianya memasuki dewasa nanti. Penyakit tidak menular ini di antaranya, penyakit jantung, obesitas, dan hipertensi. Hubungan pertumbuhan stunting dengan penyakit tidak menular masih diteliti sampai saat ini. Selain itu, anak dalam pertumbuhan stunting juga memiliki sistem imunitas tubuh yang lebih rendah dibanding dengan anak yang normal. 

Masa depan bangsa Indonesia sangat tergantung kepada kualitas dari sumber daya manusianya, yang mana nasib bangsa ini akan berada di tangan 79,55 juta anak Indonesia. Apabila pada saat ini anak-anak yang akan meneruskan perjuangan para pahlawan berada dalam kondisi stunting, maka majunya bangsa Indonesia masih menjadi tanda tanya besar bagi dunia. Sejalan dengan pernyataan ini, terdapat studi yang mengatakan bahwa anak yang bertubuh pendek akan memiliki pendapatan yang lebih rendah saat ia dewasa nanti. Berarti, kondisi stunting berisiko menyebabkan sang anak mengalami kemiskinan di kemudian hari. 

Masalah pertumbuhan stunting sering tidak disadari oleh sebagian masyarakat Indonesia karena tidak adanya indikasi ‘instan’ seperti penyakit. Tubuh pendek seringkali dianggap sebagai pengaruh genetik. Nyatanya, faktor genetik bukanlah faktor yang mendominasi tumbuh kembang seorang anak. Faktor penyebab stunting yang masih menjadi PR bagi pemerintah Indonesia di antaranya, terbatasnya layanan kesehatan, masih kurangnya akses keluarga terhadap makanan bergizi, serta kurangnya akses pada air bersih. Saat ini Presiden Republik Indonesia, Bapak Ir. Joko Widodo menginstruksikan bahwa pembangunan SDM, termasuk anak merupakan fokus pembangunan pada tahun 2024. Seluruh pihak harus berperan dalam pemenuhan gizi anak, serta pemenuhan hak anak untuk menekan angka stunting di Indonesia. Hal ini dilakukan agar anak Indonesia menjadi anak yang berkualitas sesuai cita-cita Indonesia Layak Anak (IDOLA) 2030 dan Indonesia Emas 2045, yaitu menjadi anak cerdas, kreatif, peduli dan memiliki sikap kepemimpinan. Tentunya pemerintah tidak bisa kerja sendiri, perlu dukungan yang besar juga dari seluruh masyarakat Indonesia. Adapun 5 pilar yang merupakan sinergi pemerintah untuk menurunkan angka stunting. Pertama, komitmen dan visi kepemimpinan. Kedua, kampanye dan perubahan perilaku. Ketiga, konvergensi program pusat, daerah, dan desa. Keempat, ketahanan pangan dan gizi. Dan yang terakhir, pemantauan dan evaluasi. 

Dengan tercapainya program-program yang telah diuraikan di atas, diharapkan generasi penerus bangsa akan tumbuh optimal alias tidak stunting serta memiliki tingkat kecerdasan yang lebih baik. Demikian pula, akan memberikan daya saing global yang baik di bidang pembangunan dan ekonomi. Sehingga, bila angka pertumbuhan stunting dapat ditekankan, maka diharapkan pertumbuhan ekonomi negara Indonesia bisa lebih baik serta mencetak generasi muda yang berkualitas untuk mempersiapkan kemajuan bangsa Indonesia.