Karya Aldebaran Rahman Adhitya (X MIPA 5)

Kepada: Ijen Hafga
Kota/Negara: Noldon, Adnaleb

Ijen.

Aku senang mengetahui bahwa kamu tidak di sini. Namun, aku juga sedih mengetahui bahwa kamu tidak di sini.

Isura sedang ada perang saudara. Mulai sejak kita lahir dan tetap berlangsung ketika aku menulis surat ini.

Sungguh mengerikan.

Kupikir menjadi prajurit di sebuah perang merupakan suatu hal yang mulia. Aku salah berat.

Hari menjadi minggu; minggu menjadi bulan; bulan menjadi tahun; tahun menjadi dasawarsa namun perang ini tidak ada henti.

Tahun-tahun yang lalu, aku ditugaskan untuk memeriksa apabila ada ancaman di sebuah hutan dekat kampung nenek kita. Bersama dengan Dima dan Retvenko, aku membawa pisau dan senjata api bersamaku. Kita berjalan ke dalam hutan yang tampak mati. Tidak ada burung yang berkicau; tidak ada rusa yang berkeliaran; tidak ada babi hutang yang membuat suara. Bahkan sungai hutan damai.

Hening. Hanya ada hening.

Dima kemudian berkata: “Apakah sebaiknya kita balik? Sepertinya tidak ada apapun.”

Aku melihat Retvenko, yang sudah ingin kembali ke tenda peta, diam dan mengamati lingkungan.

“Apakah hutan ini tidak luar biasa?” beliau berkata, mengabaikan pertanyaan Dima.

“Mengapa begitu?” Dima bertanya.

“Perang saudara ini sudah lama berlangsung, namun hutan ini tetap megah dengan pohon-pohon yang tinggi; pohon-pohon yang tidak digunakan untuk kebutuhan manusia,” dia menarik napas yang dalam, suhu udara terlihat dalam hembusan napas dia yang santai. “Pohon-pohon yang heran melihat kita, manusia, berperang. Sedangkan mereka, yang memiliki banyak jenis, harmonis walaupun berbeda.”

“Ya iyalah. Suatu fakta yang sedih bahwa manusia, pada umumnya, mementingkan diri sendiri. Padahal, kita harus–“

DOR DOR

Dalam seketika, suatu suara senjata tembakan meluncur dan menemui seorang korban. Retvenko terjatuh ke lantai hutan. Dada dia tertutup oleh darah dia sendiri. Napas yang sebelumnya santai menjadi napas yang berjuang untuk tetap hidup di tanah hutan.

Dima, panik, segera mengambil pistol sedangkan aku berumpat di belakang pohon.

DOR DOR DOR DOR DOR DOR DOR DOR

Suara tembakan lagi, yang ini terdengar lebih dekat. Aku mengambil senjata api dan menembak dengan liar ke arah sumber.

DOR DOR DOR DOR

Jatuh di mata, bagaikan suatu mainan, seorang berlari ke arah saya, seolah-olah tembakan saya tidak berguna. Kulihat bahwa dia lari dengan pisau di tangan kanan dia, tidak sabar untuk membunuh aku. Dengan kilat, aku mengambil pisauku dan bersiap untuk membela diri. Dia berhasil dan menjatuhkan aku. Berbaring di lantai hutan, dia bersiap untuk menanamkan besi tajam di jantungku.

DOR

Suara tembakan terdengar lagi, membuat kaki-kaki lawanku terguncang. Dia menoleh
ke sumber suara dan aku menemukan kesempatanku.

Aku menanam pisauku sedalam mungkin di area jantung dia.

Dia pun terjatuh dan maut, dengan segera, menjemput dia. Aku bergegas ke Dima
yang tampak pucat.

“Dima! Dima! Kau akan tidak apa-apa. Kau akan kubawa ke tenda agar tenaga
Kesehatan dapat membantumu dari luka tembakan itu. Ayo-”

Dima hanya bersenyum dan aku menyadari sungai yang mengalir dari air mata dia.

“Retvenko benar, Gregor,” Dima batuk “pohon-pohon heran melihat kita, manusia,
berperang.”

Dima meninggalkan aku. Dia pergi, melelehkan es di kedua mataku, dan pamit dengan
hembusan napas terakhir.

Aku berpaling ke Retvenko. Dia juga pergi bersama maut.

Aku menahan emosiku yang berkeliaran dan segera pergi ke mayat yang memakan
kedua jiwa temanku. Aku periksa saku dada dia dan menemukan selembar kertas.
Bukan. Bukan selembar kertas, namun sebuah foto. Foto yang berisi muka dia, istri
dia, dan anak dia. Mereka semua tampak ceria dengan senyuman terang.

Aku jatuh dan menurunkan hujan lebat.

Ijen, Ijenku yang kuingin bertemu lagi, kumohon untuk jangan pernah ikut dalam
perang. Sesungguhnya tidak ada yang mau perang. Dunia ini terlalu kecil untuk saling
melawan, namun cukup besar untuk saling bekerja sama.

Aku menyesal perilakuku hari itu. Aku membunuh seseorang yang memiliki istri.
Seseorang yang memiliki anak. Aku tidak hanya membunuh dia; Aku membunuh
masa depan istri dan anak dia. Siapa yang akan memberikan mereka makan dan
minum? Siapa yang akan memberikan mereka tempat tinggal yang jauh dari bahaya?
Siapa yang akan menghangatkan mereka di malam-malam yang dingin?

Lawanmu, lawanku, kedua sisi yang berperang di tanah ini semua memiliki keluarga
dan teman-teman. Orang-orang yang mereka anggap penting. Orang-orang yang
mereka berikan cerita tentang keluhan dan waktu-waktu bahagia. Orang-orang yang
mereka sayangi dan menyayangi kembali.

Sungguh, perang tidak penting. Perang hanya merugikan manusia

Dalam kata-kata Retvenko, pohon-pohon heran melihat kita, manusia, berperang.

Semoga kamu sehat selalu di Noldon
Tertanda, Gregor Hafga